Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Uli Arta Siagian, menyoroti kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak pada lingkungan hidup. Uli Arta mengatakan bahwa perlunya meningkatkan monitoring atau pemantauan terhadap kebijakan pengelolaan sumber daya alam energi dan pertambangan. Hal ini karena banyaknya perubahan politik hukum atau regulasi sektor energi dan pertambangan yang memberikan kemudahan dalam kegiatan pembukaan lahan, alih fungsi lahan, eksplorasi, dan berbagai bentuk kegiatan lainnya.
Kebijakan tersebut, menurut Uli Arta Siagian, sesungguhnya tidak berbasis pada lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi pengelolaan sumber daya alam energi dan pertambangan yang cenderung akan menyebabkan kerusakan ekologis dan mendorong terjadi perubahan iklim secara cepat.
Hal tersebut disampaikan Uli Arta Siagian saat memberikan materi dalam Pelatihan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP). Menurut Uli Arta Siagian, dasar pengaturan konstitusional warga negara dalam tata kelola sumber daya alam telah diatur dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi, Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Selanjutnya, pengaturan sumber daya alam juga diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD Tahun 1945, bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih jauh dikatakan bahwa Pasal 33 ayat 4 UUD Tahun 1945, bahwa Perekonomian nasional di selenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Uli Arta Siagian mengatakan, akibat kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak pada lingkungan hidup dan amanah konstitusi, menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup berupa pencemaran sungai. Uli Arta mengatakan bahwa saat ini 75% air sungai di Indonesia tercemar berat. Asian Development Bank menyebutkan sumber utama polusi air sungai di Indonesia karena penggunaannya untuk kebutuhan domestik dan industri, pertambangan dan pembuangan sampah padat.
Saat ini terdapat 110 juta orang di kota dan 130 juta orang di desa memanfaatkan air sungai dan membuang limbahnya di sungai. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari faktor kemiskinan. Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat 12 ribu pelaku usaha menengah dan besar dan 82 ribu pelaku usaha kecil yang membuang limbahnya di sungai.
Kerusakan lingkungan juga terjadi akibat maraknya deforestasi yang menyebabkan bencana ekologis. Menurutnya, pada 2017, hutan alam kita tersisa 82.832.498 hektar. Adapun 38,66% sisa hutan alam berada di areal kerja atau izin investasi kehutanan dan areal izin perkebunan kelapa sawit. Lebih lanjut dikatakan bahwa angka deforestasi berelasi pada peningkatan bencana hidrometeorologi pada 2014 – 2019.
Menurutnya, saat ini data BNPB mencatat 2.175 kejadian bencana di Indonesia, dengan rincian banjir 737 kejadian, puting beliung 651 kejadian, tanah longsor 577 kejadian, kebakaran hutan dan lahan 96 kejadian, banjir dan tanah longsor 67 kejadian, kekeringan 19 kejadian, gempa bumi 18 kejadian, gelombang pasang/abrasi 8 kejadian, serta letusan gunung api 2 kejadian. Berdasarkan data tersebut, 99.08% diantaranya merupakan bencana ekologis meningkatnya frekuensi puting beliung merupakan dampak dari perubahan iklim.
Dari gambaran tersebut terlihat bahwa besarnya dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat tidak berpihaknya regulasi pengelolaan sumber daya alam energi dan pertambangan. Oleh sebab itu, Uli Arta Siagian mendorong agar melakukan monitoring terhadap kebijakan pengelolaan sumber daya alam energi dan pertambangan. Lebih lanjut dikatakan Uli Arta Siagian bahwa monitoring tersebut dilakukan dengan tujuan agar regulasi pengelolaan sumber daya alam berbasis lingkungan hidup.
Dalam kesempatan tersebut Uli Arta Siagian berbagi pengalaman dan tips melakukan strategi monitoring kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Berdasarkan pengalamannya, monitoring kebijakan pengelolaan sumber daya alam dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan yang pertama dan harus dilakukan adalah menganalisis kebijakan perizinan, penataan ruang, kebijakan produksi, menganalisis dampak lingkungan, dan meninjau lapangan. Tahapan berikutnya adalah menentukan strategi advokasi yang digunakan, apakah menggunakan pendekatan litigasi, non litigasi atau model kampanye.
Dalam pendekatan litigasi, biasanya kegiatan advokasi dilakukan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan atau dengan melakukan judicial review terhadap undang-undang atau aturan pelaksana dari undang-undang yang dipandang bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Lebih lanjut, Uli Arta Siagian mengatakan bahwa advokasi dalam bentuk non litigasi dapat dilakukan dengan melakukan pengorganisasian rakyat, pendidikan hukum kritis, pelatihan, dan lain-lain. Adapun model advokasi dalam bentuk kampanye dapat dilakukan dalam bentuk kampanye regional, nasional dan internasional.