Beranda Berita

Wewenang Pengolahan dan Pemurnian Bahan Mentah Mesti di Bawah ESDM

1477
FILE PHOTO: A worker displays nickel ore in a ferronickel smelter owned by state miner Aneka Tambang Tbk at Pomala district, Indonesia, March 30, 2011. REUTERS/Yusuf Ahmad/File Photo

Terdapat substansi mengenai redefinisi kegiatan pertambangan melalui demarkasi kewenangan pengolahan dan pemurnian antara Kementerian ESDM dan Kemenperin.

Pemerintah tengah menggodok omnibus law yang akan mengumpulkan sejumlah pasal dari berbagai undang-undang sektoral. Salah satu produk omnibus law yang akan ditelurkan oleh pemerintah adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja. Dalam RUU ini nantinya mengatur wewenang usaha hilirisasi pertambangan. Khusus untuk kegiatan pengolahan dan pemurnian diusulkan untuk masuk ke dalam wewenang Kementerian Perindustrian.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar, mengungkapkan kebijakan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan mineral dan batu bara harus tetap berada dalam kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) sebagaimana selama ini telah berlaku.

“Bila kewenangan pemurnian dan pengolahan kepada Kementerian Perindustrian, maka hal itu dapat merusak tatanan kebijakan kegiatan pertambangan mineral dan batubara yang selama ini telah ada,” ujar Bisman, Selasa (10/12), di Kantor PUSHEP.

Ia menjelaskan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Menurut Bisman, kegiatan pertambangan harus dimaknai sebagai serangkaian tindakan sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

Menurut Bisman, ketentuan itu menegaskan serangkaian kegiatan pertambangan yang mencakup satu alur aktivitas, berupa tindakan yang dimulai dari penyelidikan umum, hingga kegiatan pascatambang. “Ini menunjukan bahwa KESDM memiliki kewenangan penuh dalam pengolahan dan pemurnian pertambangan mineral dan batu bara” ujar Bisman.

Bisman lalu mempertanyakan dasar pemerintah mengusulkan kebijakan pengalihan kewenangan proses pemurnian mineral dari KESDM ke Kementerian Perindustrian. Ia mengingatkan agar pemerintah dalam membuat kebijakan harus mengacu pada dasar hukum yang jelas. Sebab bila tidak, hal itu dapat menciptakan kegaduhan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan tata aturan perundang-undangan.

Patut diingat, ketentuan dalam UU No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian mengatur  dalam rangka peningkatan nilai tambah sumber daya alam, Pemerintah mendorong pengembangan Industri pengolahan di dalam negeri.

Maksud dari ketentuan ini sebenarnya menitikberatkan tentang kewajiban meningkatkan nilai tambah dari kegiatan pertambangan melalui industri pengolahan dalam negeri. “Akan tetapi ketentuan tersebut tidak menghapus kewenangan KESDM,” kata Bisman.

Ia menegaskan, Undang-Undang Perindustrian tersebut tidak bisa serta merta menghapus kewenangan KESDM dalam mengatur proses dan mekanisme pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara. Sebab, dalam Pasal 102 UU Minerba juga diatur hal yang sama. Pasal ini mengatakan, pemegang Izin Usaha Produksi (IPU) dan Izin Usaha Produksi Khusus (IUPK) wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.

Lebih jauh, Bisman menjelaskan peningkatan nilai tambah itu dilakukan dengan Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

Dalam penjelasan Pasal 103 UU Minerba dikatakan kewajiban untuk melakukan pengolahan dari pemurnian di dalam negeri dimaksudkan, antara lain untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara. Pengaturan dan penjelasan tersebut secara gamblang menguraikan pentingnya meningkatkan nilai tambah.

Ia mengakui secara eksplisit memang tidak ada pengaturan terkait dengan kementerian apa yang berwenang mengurus usaha hilirisasi pertambangan. Untuk itu, sebetulnya Kemenperin tidak perlu mendorong agar Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja mengakomodasi kepentingan pihaknya semata.

“Toh, UU Minerba juga belum direvisi. Jadi kewenangan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan tetap mengacu pada UU Minerba dan ranahnya dilaksanakan oleh KESDM,” tutup Bisman.

Sebelumnya, anggota tim perumus omnibus law Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Ahmad Redi, dalam sebuah diskusi mengungkapkan sejumlah substansi dari omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja.

Menurutnya, ada beberapa hal yang diatur seperti penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahaan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, penghapusan pidana, pengadaan lahan, kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi.

Redi juga menyebutkan sejumlah omnibus law di sektor energi dan pertambangan. Dari UU Minerba, misalnya beberapa hal yang akan diatur terkait kewenangan penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan dapat didelegasikan kepada pemerintah daerah. Selain itu terdapat substansi mengenai redefinisi kegiatan pertambangan melalui demarkasi kewenangan pengolahan dan pemurnian antara KESDM dan Kementerian Perindustrian.

“Kewenangan pemberian perizinan diberikan oleh Pemerintah, termasuk penetapan norma, standar, pedoman, dan kriteria di seluruh wilayah pertambangan Indonesia,” ujar Redi.

Masih terkait substansi omnibus law di UU Pertambangan, Redi menambahkan bahwa akan diatur penerbitan perizinan pertambangan oleh pemerintah pusat melalui sistem elekronik terintegrasi.

Kemudian pelaku usaha yang memanfaatkan dan mengembangkan batubara (coal upgrading, coal briquetting, coking; coal liquefaction, coal gasification, coal slurry/coal water mixture) dibebaskan DMO dan dapat diberikan royalti 0%, penguatan BUMN dan BUMD serta yang terkahir, wilayah KK dan PKP2B yang berakhir dikembalikan ke negara menjadi Wilayah Pencadangan Negara dan dapat diusahakan menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).