Beranda Publikasi Kegiatan

Gelar Diskusi RUU EBT, PUSHEP Soroti Pengaturan Nuklir dalam RUU EBT

381

 

Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) menyoroti arah pengaturan pengembangan Energi Baru yang lebih dominan ketimbang Energi Terbarukan dalam draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT). Khususnya soal pengaturan Nuklir dalam RUU tersebut.

Dalam diskusi itu terungkap bahwa pengaturan mengenai Energi Baru diatur mulai Pasal 9 – Pasal 29. Di antara ketentuan tersebut terdapat ruang pengaturan untuk Nuklir. Pengaturan mengenai Nuklir dimulai dari Pasal 10 – Pasal 15. Sementara itu, pengaturan mengenai Energi Terbarukan diatur mulai dari Pasal 30 – Pasal 47. Dari sini terlihat bahwa norma terkait Energi Baru lebih banyak.

Peneliti PUSHEP, Akmaluddin Rachim, menjadi salah satu narasumber dalam diskusi yang berjudul “Apa Kabar RUU EBT?, Telaah Kritis Aspek Formil dan Materiil RUU EBT”. Akmal mengungkapkan bahwa arah pengaturan dalam RUU EBT sangat diwarnai oleh materi pengembangan Energi Baru. Dalam RUU tersebut, pada bagian bab tentang transisi dan peta jalan, ketentuan mengenai penyediaan batubara bagi kebutuhan pembangkit listrik juga diatur.

Selain itu, Akmal juga menyoroti perihal ketidakadilan perumusan norma pengaturan yang menegasikan eksistensi jenis ragam Energi Terbarukan, seperti Panas Bumi dan Pengelolaan Sampah sebagai salah satu sumber Energi Terbarukan.

Akmal menjelaskan bahwa mengapa hanya ketentuan Nuklir yang diatur lebih banyak dalam RUU EBT ini, padahal sudah ada UU Ketenaganukliran? Di sisi lain, ketentuan terkait hidrogen, gas metana batubara, batubara tercairkan, batubara tergaskan dan sumber energi baru lainnya harus diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Lebih lanjut Akmal mengutarakan bahwa dalam Pasal 31 RUU EBT, disebutkan bahwa ketentuan mengenai Panas Bumi, Biomassa, dan Sampah, pengaturannya diserahkan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan eksisting mengenai Panas Bumi, Kehutanan dan Perindustrian, serta Pengelolaan Sampah.

Akmal mengungkapkan bahwa arah pengembangan EBT ke depannya akan dimanfaatkan untuk sektor transportasi, industri dan peralatan rumah tangga. Pengembanga EBT untuk ketiga sektor tersebut dimaksudkan agar sumber energi yang masih berbasis bahan bakar fosil beralih secara bertahap ke peralatan berbasis listrik.

Harapannya agar terjadi penurunan emisi karbon. Hal tersebut dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 7 RUU EBT. Dalam pasal berikutnya (Pasal 8), diatur bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai transisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan peta jalan pengembangan Energi Baru dan Energi Terbarukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Menurut Akmal, ketentuan Pasal 8 ini menunjukkan lemahnya political will, keseriusan, dan keinginan Pemerintah yang mengatur kedua hal tersebut lebih komprehensif dalam undang-undang. Seharusnya, ketentuan mengenai Transisi Energi dan Peta Jalan dalam draf RUU EBT lebih dielaborasi lagi. Pengaturannya harus lebih mendalam dan lengkap. Ketentuan yang ada menunjukkan miskinnya ide dan gagasan mengenai arah pengaturan Transisi Enegi dan Peta Jalan pengembangan EBT.

Bagi Akmal, kedua topik tersebut merupakan kunci bagi pembangunan paradigma hukum dan tata kelola energi baru dan terbarukan ke depannya. Sebab, RUU EBT tidak sesederhana hanya mengatur mengenai Energi Baru, Nuklir, mengatasi dampak perubahan iklim akibat kenaikan suhu bumi sehingga tercipta energi yang bersih dan ramah lingkungan. RUU EBT adalah paradigma, payung hukum, dan jiwa semangat kelangsungan hidup manusia ke depannya.

Oleh sebab itu, meskipun substansi dalam draf RUU EBT arah pengaturannya masih dominan mengatur terkait Energi Baru, Akmal berharap pembentuk undang-undang, memberikan ruang kepada kelompok masyarakat atau stakeholder lainnya dalam menyalurkan aspirasinya. Dari aspek materiil, Akmal berharap agar DPR dan Pemerintah memperbaiki substansi RUU EBT yang cenderung tumpang tindih. Hal yang perlu juga ditambahkan atau diperkuat adalah terkait dengan kewenangan daerah dalam pengembangan dan pemanfaatan EBT.

Menurut Akmal, keberadaan ketentuan pengaturan Nuklir dalam RUU EBT bermasalah dari segi kejelasan rumusan. Akmal mendorong agar Pemerintah dan DPR punya political will yang kuat dalam pembahasan RUU EBT untuk melengkapi kekurangannya dan menjadi prioritas untuk diselesaikan pada tahun ini. Perlu diketahui bahwa saat ini Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengumpulkan setidaknya 543 daftar inventarisasi masalah (DIM). Harapannya berbagai masalah dalam DIM tersebut, juga merupakan berbagai hal yang menjadi sorotan banyak pihak terhadap draf RUU EBT, khususnya ketentuan nuklir perlu ditinjau ulang dalam pembahasan DIM nantinya.