Transparency International Indonesia (TII) merilis penilian risiko korupsi perizinan dan pengawasan usaha pertambangan. Penelitian ini melihat pentingnya penilaian risiko dalam bisnis proses pemberian izin usaha pertambangan, baik ditahap eksplorasi maupun ditahap operasi produksi. Penelitian dilakukan menggunakan metode Mining Award Corruption Risk Assessment (MACRA).
Metode yang dikembangkan oleh TII untuk mengidentifikasi, menilai penyebab korupsi, dan risiko korupsi dalam pemberian izin di sektor pertambangan. Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah terkait dengan perubahan administrasi perizinan usaha pertambangan sebelum dan sesudah revisi UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dilakukan.
Penelitian tersebut juga mengkaji sejauh mana perbaikan tata kelola perizinan berdampak pada mitigasi risiko korupsi. Terakhir penelitian ini juga akan membahas kasus-kasus korupsi di bidang pertambangan yang terungkap dan berdampak pada tata kelola pertambangan. Penelitian ini mengungkapkan bahwa sentralisasi kewenangan perizinan pertambangan yang berada di pemerintah pusat dipandang membawa beban tata kelola kegiatan usaha pertambangan secara signifikan.
Dari keadaan tersebut, TII melihatnya sebagai pintu masuk berbagai persoalan korupsi. Berdasarkan riset TII, potensi korupsi hadir sejak penerbitan wilayah izin usaha pertambangan dan pemberian izin usaha pertambangan. Selain itu melemahnya fungsi pengawasan juga menjadi potensi risiko terjadinya korupsi. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat 16 risiko korupsi yang dapat terjadi, 6 risiko kontekstual serta 10 risiko kesenjangan dan kerentanan.
Risiko konstektual merupakan potensi risiko yang paling dekat menjadi pintu masuk terjadinya korupsi. Potensi tersebut antara lain, pertama: tinggi dan berlebihnya beban integritas yang harus ditanggung oleh Kementerian ESDM dalam melaksanakan tata kelola di bidang pertambangan pasca sentralisasi kewenangan dalam revisi UU 4 Tahun 2009.
Kedua, terkait dengan profil politisi – pebisnis sebagai pemangku kepentingan yang kasat mata dan dominan dalam pengambilan kebijakan, termasuk saat revisi UU 4 Tahun 2009 dan penerbitan UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketiga, terkait dengan adanya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK sehingga KPK minim ruang dalam merespon potensi korupsi yang terjadi di berbagai aspek.
Keempat, terkait dengan posisi usaha pertambangan yang krusial bagi ekonomi negara menempatkan berbagai keutamaan usaha pertambangan dalam melaksanakan kebijakan. Kelima, terkait dengan minimnya kapasitas pengawasan dan pengendalian menyebabkan besarnya ruang ekonomi ilegal yang menambah aspek persoalan dalam penegakan hukum.
Keenam, partisipasi publik yang terus menyempit dan adanya pasal yang dapat dijadikan alat kriminalisasi dan membungkam aktivis dan warga dalam mengawasi kegiatan pertambangan. Keenam aspek atau risiko kontekstual tersebut merupakan hal yang paling mendapat banyak sorotan dan memiliki potensi risiko korupsinya sangat tinggi.
Kesimpulan dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa apapun pembenahan administrasi yang berujung pada kemudahan berusaha dan kepastian perizinan tidak dapat berfungsi untuk meredam risiko korupsi yang dihasilkan dari relasi profil pemangku kebijakan, beban yang terpusat di pemerintah pusat, dan lemahnya pengawasan.
Oleh sebab itu, TII berharap agar perbaikan terhadap tata kelola pertambangan tetap diperlukan khususnya terkait kerangka hukum, seperti kejelasan aturan, standar layanan, keterbukaan informasi, tetap perlu dilakukan. Hasil studi ini justru hendak mendorong pemerintah untuk membangun tata kelola pertambangan yang berintegritas serta memperluas ruang akuntabilitas publik.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Bayu Yusya, dalam forum tersebut menyampaikan pandangan bahwa efektivitas berlakunya suatu hukum sangat dipengaruhi oleh substansi, struktur dan kultur hukum di masyarakat. Perubahan sistem administrasi perizinan atau perbaikan tata kelola pertambangan hanya akan efektif jika didukung oleh faktor lain seperti kualitas SDM dan budaya masyarakat.
Adanya potensi risiko dalam pengurusan perizinan atau penerbitan WIUP bisa disebabkan oleh lemahnya integritas SDM instansi terkait dalam proses pengurusan perizinan tersebut serta lemahnya integritas aparat penegak hukum. Di sisi lain, kebiasaan masyarakat yang tidak menaati prosedur dalam penerbitan izin atau fenomena lebih memilih jalur pintas merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi.