Beranda Publikasi Kegiatan

Catatan Formil dan Materiil atas UU Minerba Baru

1989

Jakarta, PUSHEP – Advokat sekaligus Divisi Litigasi Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Jamil B., menyebutkan terdapat banyak pasal yang bermasalah dalam revisi UU Minerba yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) pada tanggal 12 Mei 2020 lalu. Bahkan sejumlah pasal tersebut berpotensi melanggar atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Hal tersebut disampaikan Jamil dalam acara Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh PUSHEP pada tanggal 9 Juni 2020. Dalam diskusi yang mengangkat tema “Catatan Kritis Undang-Undang Minerba” itu, Jamil menyoroti beberapa pasal yang mengandung polemik seperti ketentuan mengenai pemberian izin tambang yang oleh Undang-Undang sebelumnya (Pasal 37 dan 38) diatribusikan kepada pemerintah daerah kemudian dalam UU perubahan dihapus menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah pusat.

Penghapusan ketentuan tersebut menurut Jamil selain bertentangan dengan semangat otonomi daerah sebagai amanat reformasi juga bertentangan dengan Pasal 18A UUD NRI 1945. Oleh karenanya ia mengatakan bahwa sangat besar peluang inkonstitusinalitas pengahapusan pasal ini dalam revisi UU Minerba.

“Kalau merefer pada Pasal 18A (UUD NRI 1945), maka menurut saya penghapusan pasal 37 dan 38 di UU perubahan ini (penghapusan kewenangan daerah dalam pemberian izin tambang) mesti diuji di MK” tegas Jamil.

Permasalahan lain yang disoroti Jamil adalah mengenai jangka waktu izin pertambangan. Dimana Revisi UU Minerba memberikan jaminan adanya kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi. Tak hanya KK dan PKP2B, pemegang IUP dan IUPK pun menghirup angin segar yang sama dari perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut (juga mendapatkan jaminan kelanjutan operasi).

Untuk diketahui, dalam UU Minerba yang lama perpanjangan izin tercantum dengan klausul “dapat diperpanjang” serta ditegaskan berapa kali dapat dilakukan perpanjangan itu (Pasal 47, Pasal 83), namun dalam UU perubahan diganti dengan klausul “dijamin memperoleh perpanjangan” tanpa ada kepastian berapa kali perpanjangan tersebut dapat dilakukan (Pasal 169, Pasal 169 A dan Pasal 169 B).

“Ketentuan tersebut menutup ruang BUMN atau negara untuk melakukan pengelolaan terhadap izin yang akan mati. Padahal menurut UU Nomor 4 Tahun 2009 kalau (izin) sudah mati harusnya kembali ke negara untuk dikelola. (Tapi) kalau kemudian diperpanjang maka Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) (UUD NRI Tahun 1945) serta tafsir MK mengenai penguasaan negara itu tidak ada artinya” tandasnya.

Pada kesempatan yang sama Peneliti PUSHEP, Akmaludin Rachim, menambahkan bahwa selain bermasalah secara materiil, revisi UU Minerba juga “catat” secara formil. Menurutnya proses pengesahan atas revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tersebut tidak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.

Adapun diantara permasalahan  formil itu antara lain terkait dengan RUU Minerba yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over). RUU Minerba merupakan RUU inisiatif DPR RI yang telah disusun drafnya oleh DPR RI pada periode sebelumnya yang hingga akhir masa jabatan belum pernah sekalipun dilakukan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

“Padahal berdasarkan Pasal 17A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa carry over pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan pembahasan DIM” tegas Akmal.

Selain itu, Akmal juga menyebutkan sejumlah persoalan formil lainnya, seperti pembahasan RUU Minerba yang dilakukan secara tertutup dan tidak dilaksanakan di gedung DPR; RUU Minerba tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder; materi RUU Minerba tidak dilakukan uji publik; pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD); serta pengambilan keputusan atas RUU Minerba yang dilakukan dalam rapat kerja dengan virtual meeting catat hukum dan hasilnya batal demi hukum.

Berdasarkan catatan-catatan tersebut, maka revisi UU Minerba bukan hanya bisa diuji materiil tapi juga sangat layak untuk diuji formil di MK. Lebih lanjut, terkait dengan pengujian UU Minerba ke MK, dalam diskusi yang diselenggarakan secara virtual ini, Jamil menambahkan sekaligus menutup diskusi bahwa perlu disusun strategi apakah akan dilakukan uji formil atau materiil atau sekaligus kedua-duanya. Uji formil bisa dilakukan jika memiliki bukti yang kuat atas argumen yang akan diajukan, karena berdasarkan pengalaman belum pernah ada uji formil undang-undang yang dikabulkan oleh MK.