Beranda Publikasi Riset Kajian

Analisis Yuridis Normatif atas Pengaturan PP 72 Tahun 2016 dengan UU BUMN

2113
Analisis Yuridis Normatif atas Pengaturan PP 72 Tahun 2016 dengan UU BUMN

Analisis Yuridis Normatif atas Pengaturan PP 72 tahun 2016 dengan UU BUMN

Oleh

M Ilham F Putuhena, SH., M.H.

A. Pendahuluan

Pada tanggal 30 Desember 2016 Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas (PP 72 Tahun 2016).

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang berisikan dua elemen esensial yakni unsur pemerintah (public) dan unsur bisnis (enterprise). Sehingga BUMN merupakan salah satu sektor publik yang mempunyai keistimewaan karakteristik yang tidak dimiliki oleh institusi publik lain, yakni sifat fleksibilitas dan inisiatif yang juga dapat berperan sebagai perusahaan swasta.[1]

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN (Undang-Undang BUMN) mengatur bahwa yang dimaksud BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

BUMN dituntut untuk berfungsi sebagai alat pembangunan nasional dan berperan sebagai institusi sosial (public). Peran sosial ini mengisyaratkan bukan saja pemilikan dan pengawasannya oleh publik tetapi juga menggambarkan konsep mengenai public purpose (sasarannya adalah masyarakat) dan public interest (orientasinya pada kepentingan masyarakat). Dengan demikian disadari bahwa posisi perusahaan-perusahaan BUMN ini ibarat memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi berperan sebagai institusi bisnis dan di sisi lainnya berperan sebagai institusi sosial karena merupakan alat negara.[2]

Di satu sisi adanya PP 72 Tahun 2016 yang terkait dengan BUMN dianggap bermasalah. Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada, Tri Widodo, menilai PP 72 Tahun 2016 sangat berbahaya. Aturan baru tersebut bisa menjual aset negara menjadi sangat mudah tanpa pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tri Widodo mengatakan, pemerintah terkesan meninggalkan peran DPR sebagai wakil rakyat.[3] Berdasarkan gambaran tersebut maka perlu dilakukan kajian secara yuridis normatif untuk melihat pengaturan dalam PP 72 tahun 2016 dengan Undang-Undang BUMN.

B. Permasalahan

Bagaimanakah konsistensi pengaturan PP 72 tahun 2016 dengan Undang-Undang BUMN yang sesuai dengan prinsip dan tujuan pengaturan.

C. Analisis

Pembahasan akan dimulai dengan melihat pengaturan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b PP 72 Tahun 2016 berbunyi “barang milik negara”. Pasal 2 ayat (2) huruf b tersebut di atas tidak dapat dipisahkan dengan keseluruhan isi dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PP 72 Tahun 2016 secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

(1) Penyertaan Modal Negara ke dalam BUMN dan Perseroan Terbatas bersumber dari:

  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  2. kapitalisasi cadangan; dan/atau
  3. sumber lainnya.

(2) Sumber Penyertaan Modal Negara yang berasal dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara                    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kekayaan negara berupa:

  1. dana segar;
  2. barang milik negara;
  3. piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas;
  4. saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; dan/atau
  5. aset negara lainnya.

Pasal 2 ayat (2) PP 72 Tahun 2016 merupakan perubahan dari pasal yang sama dalam peraturan pemerintah sebelumnya, yaitu PP 44 Tahun 2005 yang berisi sebagai berikut:

Sumber yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:

  1. dana segar;
  2. proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  3. piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; dan/atau
  4. aset-aset negara lainnya.

Dari uraian tersebut terlihat bahwa telah terdapat perubahan isi Pasal 2 ayat (2) huruf b, yang sebelumnya di PP 44 Tahun 2005  berbunyi “proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara” dihapus dan diubah menjadi berbunyi “barang milik negara”.

Perubahan tersebut secara substansi bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang BUMN yang berbunyi sebagai berikut:

Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari:

  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara<em>;< em=””></em>;<>
  2. kapitalisasi cadangan;
  3. sumber lainnya.

Dalam Penjelasan huruf a Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang BUMN:

Termasuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yaitu meliputi pula proyek-proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dikelola oleh BUMN dan/atau piutang negara pada BUMN yang dijadikan sebagai penyertaan modal negara.

Undang-Undang BUMN telah menyatakan bahwa “proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”  merupakan bagian dari APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang BUMN. Namun dalam PP 72 Tahun 2016 telah dihapus dan digantikan dengan frasa “barang milik negara”. Hal ini merupakan ketidakkonsistenan berupa penghapusan dan perubahan norma yang ada di Undang-Undang BUMN melalui PP 72 Tahun 2016. Sehingga jelas ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf b PP 72 Tahun 2016 bertentangan dengan Undang-Undang BUMN sepanjang tidak dimaknai “Proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. Karena pengaturan dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada dalam Undang-Undang. Hal ini juga  ditegaskan oleh Prof. Dr. A. Hamid Attamimi,[4]  yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan atau yang menjadi dasar pembentukkannya. Dengan demikian cukup beralasan untuk menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) huruf b PP 72 Tahun 2016 bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang BUMN.

Dihapusnya ketentuan huruf b atau tidak dicantumkannya ketentuan “proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”  yang digantikan dengan frasa “Barang Milik Negara” akan berdampak pada beberapa hal yaitu:

Pertama, risiko terbukanya mekanisme pencucian aset negara menjadi aset badan usaha lain karena terdapat degradasi dalam proses maupun pengawasannya. Pada saat suatu barang masih berstatus sebagai Barang Milik Negara, maka pemindahtanganannya memerlukan persetujuan DPR RI atau Menteri Keuangan sesuai dengan batas kewenangannya (vide Pasal 4 ayat (2) huruf d dan g Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah). Namun, apabila Barang Milik Negara tersebut dijadikan penyertaan modal pada BUMN, maka akan bertransformasi menjadi aktiva/aset dari BUMN.

Kedua, apabila dikemudian hari akan dilakukan pemindahtanganan barang milik negara tersebut yang telah menjadi barang milik BUMN ke badan usaha lain, maka persetujuan untuk pemindahtanganan aktiva/aset BUMN cukup dengan persetujuan RUPS/Menteri atau Dewan Komisaris (vide Pasal 25 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: PER-02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN).

Sehingga, tampak jelas telah terjadi degradasi dalam proses persetujuan untuk pemindahtanganan suatu Barang Milik Negara yang bertransformasi menjadi aktiva/aset BUMN sebagai akibat penyertaan modal pemerintah, yang sebelumnya saat masih status “Barang Milik Negara” pemindahtanganannya harus melalui persetujuan Menteri Keuangan dan DPR RI. Namun saat sudah berubah menjadi “Barang Milik BUMN” pemindahtanganannya cukup melalui RUPS atau persetujuan Dewan Komisaris BUMN tersebut.

Ketiga, Degradasi dalam proses persetujuan pemindahtangan atau pelepasan “barang Milik Negara”, akibat dari transformasi Barang Milik Negara menjadi aktiva/aset BUMN akibat penyertaan modal negara, maka berdampak risiko dan berpotensi terbukanya mekanisme pencucian aset negara tanpa mekanisme pengawasan DPR RI atau Menteri Keuangan (sesuai dengan batasan yang menjadi kewenangannya).

Keempat, perubahan isi Pasal 2 ayat (2) huruf  b PP 72/2006  a quo,  yang tidak lagi mencantumkan “proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”, maka perjanjian penerusan pinjaman yang diperoleh negara/pemerintah dari lembaga-lembaga donor (skema konversi two step loan atau subsidiary loan agreement) yang selama ini kerap dilakukan untuk pembangunan infrastruktur (seperti dari Japan Bank for International Corporation/JBIC, Asian Development Bank/ADB, International Bank for Reconstruction and Development/IBRD), yang umumnya memberikan pinjaman lunak dan dengan bunga rendah tidak dapat lagi dilakukan. Kalaupun toh dapat dilakukan, proyek-proyek yang dibiayai dari APBN tersebut harus berwujud dahulu dan menjadi Barang Milik Negara baru kemudian dapat dilakukan penyertaan modal negara kepada BUMN yang bersangkutan dan hal ini akan memperpanjang proses dan birokrasi.

D. Kesimpulan

Dari analisis tersebut di atas, maka PP 72 Tahun 2016 tidak sesuai dengan norma yang diatur dalam Undang-Undang BUMN. Secara norma bertentangan dan menyebabkan dampak terhadap posisi BUMN sebagai alat negara dan posisi bisnis. Disarankan untuk melakukan perubahan terhadap PP 72 tahun 2016 atau merubah terlebih dahulu Undang-Undang BUMN.



[1] Anoraga, Pandji. BUMN Swasta dan Koperasi: Tiga Pelaku Ekonomi. Jakarta: Pustaka Jaya 1995. Hlm. 1.

[2] Yusuf Wibisono, Membedah Konsep & Aplikasi CSR (Corporate Social Responsibility) Jakarta: Gramedia 2007,hlm. 62.

[3]  Pengamat UGM: Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2016 Membahayakan Status Aset Milik Negara, http://www.tribunnews.com/bisnis/2017 /01/16/pengamat-ugm-peraturan-pemerintah-no-72-tahun-2016-membahayakan- status-aset-milik-negara.

[4] Maria Farida Indriati S. Ilmu Perundang-undangan; Jenis, fungsi, dan materi muatan, Jakarta: Kanisius. 1996, hlm. 45.