Beranda Berita

Perusahaan Tambang Diminta Patuhi Kebijakan Tarif Ekspor Barang Mineral Logam

Karena perusahaan tambang sudah mendapatkan keistimewaan dari pemerintah.

274

Kebijakan Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2023 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar dipandang tepat. Kebijakan tersebut berpotensi meningkatkan pendapatan atau penerimaan negara atas kegiatan ekspor barang produk hasil olahan mineral logam berupa tembaga, besi, timbal, dan seng.

Peneliti Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP), Akmaluddin Rachim berpandangan, kebijakan tersebut sehubungan relaksasi kebijakan berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 7 Tahun 2023 tentang Kelanjutan Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri. Dia menilai pemerintah sudah berada di jalur yang benar.

“Saya harap pemerintah tidak perlu jiper atau gentar menghadapi rencana jika terdapat perusahaan tambang yang ingin menggugat kebijakan tersebut. Sangat wajar jika pemerintah mengenakan tarif bea keluar atas barang ekspor yang dikenakan bea keluar berupa produk hasil pengolahan mineral logam,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Rabu (9/8/2023).

Aturan main tentang ekspor mineral logam pada dasarnya mengacu pada UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juncto Permen ESDM 7/2023. Dasar hukum pengaturan ekspor mineral logam diatur dalam Pasal 170A UU 3/2020.

Pasal 170A ayat (1) menyebutkan, “Pemegang KK, IUP Operasi Produksi, atau IUPK Operasi Produk Mineral Logam yang: a. telah melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian; b. dalam proses pembangunan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian; dan/atau c. telah melakukan kerjasama Pengolahan dan/atau Pemurnian dengan pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi lainnya, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk Pengolahan dan Pemurnian atau pihak lain yang melakukan kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian, dapat melakukan Penjualan produk Mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku”.

Beleid itu intinya, bagi pemegang KK, IUP OP, dan IUPK OP dapat melakukan ekspor produk mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri hingga 10 Juli 2023 dengan syarat. Seperti telah melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian, dalam proses pembangunan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian, hingga dan/atau pemurnian dengan pemegang IUP OP, IUPK OP lainnya.

Akmal menilai, seharusnya perusahaan tak lagi perlu mempermasalahkan atau menggugat kebijakan PMK 71/2023 dengan mendalilkan kesepakatan yang diatur dalam IUPK 2018. Karenanya, pemerintah Indonesia sudah menyesuaikan dengan kebutuhan industri pertambangan.

“Jika beralasan bahwa berdasarkan IUPK 2018, perusahaan tidak dapat dikenakan tarif bea keluar, maka bisa saja pemerintah jika mau konsisten, akan melarang, memberikan sanksi, bahkan menindak tegas perusahaan yang tidak menaati aturan UU 4 Tahun 2009 untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dalam hal ini pembangunan smelter,” katanya.

Dia mengimbau agar perusahaan  pertambangan menaati aturan tarif bea keluar atas barang ekspor yang dikenakan bea keluar berupa produk hasil pengolahan Mineral logam yang ditetapkan pemerintah tersebut. Hal ini karena perusahaan tambang sudah mendapatkan keistimewaan dari pemerintah.

“Karena ada relaksasi kebijakan ekspor tersebut maka otomatis pemerintah juga dapat menerapkan tarif atau pungutan pajak atas kegiatan ekspor tersebut,” imbuh Akmal.

Dia juga menyampaikan perlu jadi perhatian penting mengenai lampiran dalam PMK 71/2023 tersebut. Pada poin huruf G yang mengatur besaran tarif bea keluar atas barang ekspor yang dikenakan bea keluar berupa produk hasil pengolahan mineral logam dengan kriteria terteentu. Sebab, dalam tabel tersebut terdapat ketentuan mengenai nikel dan bauksit yang telah dilakukan pencucian dengan kadar tertentu dikenakan tarif keluar sebesar 10 persen.

“Pertanyaannya adalah, bukankah pemerintah melarang ekspor nikel dan bauksit?. Mengapa dalam PMK ini terdapat pengenaan tarif bea keluar. Apakah itu artinya pemerintah sebenarnya diam-diam masih membolehkan ekspor?. Ketentuan ini membingungkan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, perlu menjelaskan hal tersebut,” imbuhnya.

Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani meminta pembangunan smelter dipercepat hingga akhir 2023. Hal tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 71/2023 yang mengatur penetapan tarif bea keluar atas ekspor produk tembaga didasarkan pada kemajuan fisik pembangunan.

“Jadi pemerintah tentunya mengharapkan penyelesaian smelter yang tertunda dari yang seharusnya bulan Juni, Juli ini kita selesaikan, mengupayakan kalau bisa diselesaikan di akhir 2023,” ujarnya sebagaimana dikutip dari laman Antara.

Adapun Berdasarkan PMK Nomor 71 Tahun 2023, tahapan kemajuan fisik pembangunan fasilitas smelter terdiri dari tiga tahap, yakni sebagai berikut:

  1. Tahap I dalam hal tingkat kemajuan fisik pembangunan lebih dari atau sama dengan 50% sampai kurang dari 70% dari total pembangunan.
  2. Tahap II dalam hal tingkat kemajuan fisik pembangunan lebih dari atau sama dengan 70% sampai kurang dari 90% dari total pembangunan.
  3. Tahap III dalam hal tingkat kemajuan fisik pembangunan lebih dari atau sama dengan 90% sampai dengan 100% dari total pembangunannya.

Perbedaan dengan aturan yang lama yakni adanya pembebasan tarif BK jika pembangunan smelter lebih dari 50 persen. Besaran tarif tersebut ditetapkan pemerintah berdasarkan konsentrat dari hasil tambang dengan besaran tarif BK yang naik secara bertahap.